"Bagaimana rasanya ketika menjadi orang yang tak di anggap?"
"Menyakitkan yan."
"Tentu sekarang kamu tahu kan rasanya jadi aku dimasa lalu?"
Hari ini aku bertemu dengan Dion di sebuah cafe favoritku. Dia bilang ingin bertemu untuk membicarakan hal yang penting. Sebetulnya aku tak ingin pergi. Tapi aku mulai tak tega melihat dia merajuk sebegitu ibanya. Aku sudah terlanjur di kecewakan. Dia pergi begitu saja meninggalkan aku tanpa status yang jelas. Aku mencoba menghubunginya, mendatangi rumahnya, menanyakan pada teman-temannya. Semua sudah ku lakukan. Tapi hasilnya nihil. Dion menghilang begitu saja.
"Maafkan aku yan. Aku tahu, aku salah. Tak mengabarimu dan menjelaskan semuanya.Tapi aku tak pernah punya maksud untuk meninggalkanmu yan. Aku terpaksa berlaku demikian, karna waktu itu aku tak ingin kehilanganmu" Ucap Dion sambil meraih tanganku mencoba menjelaskan kejadian yang sudah hampir aku lupakan.
"Entahlah. Aku merasa tidak seharusnya kita kembali membahas hal ini. Karna bagiku sudah tak ada lagi yang perlu di bicarakan. Aku sudah menganggapnya berakhir dua tahun yang lalu.” Jawabku dengan tatapan kosong ke arah kaki-kaki meja lain di depanku.
“Aku harus pergi. Ada meeting sebentar lagi” ku tutup percakapan dan bergegas pergi meninggalkan Dion dan Lyche jus yang belum teraduk.
Ku rebahkan diri di kasur kamar yang sudah tak terlalu empuk. Menghela nafas sedalam mungkin dan sesekali ku gesek-gesekkan kakiku ke sprei hingga kurasakan dingin dan nyaman menjalar ke tubuhku.
"Ahh..!! Hari ini melelahkan sekali" Gumamku sendiri
beberapa menit kemudian handphone ku berbunyi. Ada sms masuk, dari Dion.
"Maafkan aku yan..!! Aku menyesal."
Kutaruh handphoneku lagi, membiarkan pesan Dion tanpa balasan.
"Kenapa dia harus muncul lagi saat aku sudah mulai melupakan sakit hati?" Ocehku sendiri
Tiba-tiba saja otakku memutar kenangan pahit dua tahun yang lalu.
Pagi itu 18 November 2012. Hari itu adalah hari ulang tahunku yang ke 23. Aku dan Dion berencana merayakannya dengan makan malam romantis di restaurant tepi pantai hanya berdua saja.
Tapi. Janji itu ternyata menjadi janji yang tak pernah tertepati. Dion tidak datang. Dia membuatku menunggu terlalu lama. Aku mencoba menghubunginya. Tapi nomornya tidak aktif. namun saat itu aku mencoba untuk tetap berpikiran baik
"Mungkin baterai handphonenya habis. Mungkin dia sengaja mematikannya karna ingin membuat kejutan. Mungkin handphonenya tertinggal." Iya. Aku mencoba menenangkan hatiku yang sebenarnya sudah mulai tak tenang.
Tiga jam berlalu. Dandananku sudah mulai berantakan. Aku juga sudah sudah lelah menunggu, menahan marah, juga tangis.Tapi Dion belum juga muncul. Dia belum memberi kabar. Satu jam kemudian restaurant tutup, dan akhirnya aku pulang dengan kekecewaan. Ku tinggalkan mobilku. Karna aku tak mau jika aku menyetir tanpa kontrol.
Saat itu yang aku lakukan adalah menangis. Setelah berjam-jam aku menahan marah. Aku sudah tak peduli lagi dengan keadaan sekeliling. Aku menyumpah serapah. Memaki-maki sepanjang jalan dalam hati dengan tangis yang menjadi-jadi. aku bahkan tak peduli saat orang-orang di busway melihatku dengan tatapan aneh. karna melihat dandananku yang tak lagi anggun juga rapi.
Sejak saat itu aku tak pernah lagi melihat Dion. Aku juga tak tahu kabarnya seperti apa, tak tahu alasan apa sebenarnya yang membuatnya pergi meninggalkanku. Akhirnya aku menyerah untuk mencarinya. Kubiarkan diriku bersahabat dengan rasa sakit bertahun-tahun. Menikmati semuanya seolah ini adalah coklat panas yang di minum saat cuaca begitu dingin. Aku menyakinkan diri, jika aku akan baik-baik saja setelah kejadian itu.
Tapi sekarang setelah lukaku mulai sembuh. Dion justru muncul memintaku memaafkannya dan memberinya kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya.
Mungkin aku memang sudah memaafkannya. Tapi bukan berarti aku melupakan. Hal yang paling sulit untuk aku terima adalah kenyataan yang dia ukir secara paksa di dalam ingatanku. Kenyataan bahwa dia bukanlah seseorang yang setia dan tepat janji kepadaku, wanitanya.
Mungkin ini yang papa maksud dengan "lelaki baik adalah lelaki yang menepati janji, meskipun janji sepele" Iya. Papa selalu berbicara jika mencari lelaki pendamping hidup bisa di ukur dari seberapa setia dia terhadap janji yang dia buat. Dan ternyata Dion bukanlah orang yang baik.
Aku beruntung, dia meninggalkanku saat aku masih sebagai kekasih, bukan istri. Jadi aku rasa tak perlu berlarut-larut lagi dalam sedih. Karna aku masih lebih beruntung daripada mereka yang sudah berstatus istri, kemudian di campakkan begitu saja setelah di nikahi.
Sudah beberapa minggu ini tak ada gangguan dan rajukan dari Dion. Ku rasa dia mulai lelah merayu untuk memaafkannya. Aku rasa dia sudah lupa, mungkin lebih tepatnya melupakan keinginannya untuk mendapat maafku.Karna aku tetap bergeming dengan semua usahanya.
Hari ini aku pulang kerja lebih awal. Karna aku berjanji untuk mengantarkan mama berbelanja beberapa potong pakaian untuk anak-anak panti asuhan. Tidak. Aku tak punya panti asuhan, kami hanya donatur di sana. Kegiatan ini rutin kami lakukan setiap bulan. Kadang kita memberi pakaian, kadang uang, kadang juga makanan. Mama selalu mengajarkanku untuk berbagi rejeki dengan mereka. Karna mamaku dulu juga pernah menjadi bagian dari mereka. Jadi dia tahu betul bagaimana rasanya.
"Yan menurut kamu baju ini cocok nggak sama Nita? Lucu yan, mama suka" Kata mama sambil menyodorkan satu potong baju berwarna pink tanpa lengan dengan beberapa hiasan bunga-bunga kecil di sekitar dadanya.
"Bagus ma, Yana suka bajunya, pasti Nita cantik banget kalo pakek ini" Jawabku dengan meraba bahan dan membolak balik bajunya, memastikan itu memang baju terbaik yang kami berikan untuk Nita dan anak-anak lainnya.
Setelah kami membayar baju-baju yang kami beli. Aku dan mama berjalan ke arah food court tempat kami biasanya mampir. Dan betapa terkejutnya aku, karna melihat Dion sedang memangku balita lucu dan di hadapannya ada wanita hamil disana. mereka nampak bahagia. Sesekali wanita itu mengajak bayinya bercengkrama.
"Lelaki memang tak bisa di percaya, dia ternyata sudah berkeluarga, kenapa masih saja mencoba merayuku? Jadi? Aku mau di jadikan istri kedua? Ah sudahlah. Aku lelah membicarakan dia" Batinku sambil menggandeng lengan mama lebih erat.
"Ma, cari makan di tempat lain saja ya? Yana lagi males makan disini." Ajakku pada mama. Aku tak ingin mama melihat Dion disana, karna aku tak ingin membuat hatinya kembali terluka, sama seperti aku yang pernah di lukainya dua tahun yang lalu.
Mama adalah orang yang kecewa nomor dua setelahku. Dia sudah begitu merasa senang dengan kehadiran Dion di tengah keluarga. Mama juga yakin jika Dion adalah orang yang tepat untuk menjagaku. Tapi ternyata Dion mengkhianati kepercayaan mama.
"Kenapa Yan? Kok tumben banget sih kamu?" Sanggah mama sambil menatap heran ke arahku.
"Tempatnya terlalu ramai ma, hari ini aku ingin tempat yang sedikit sepi, agar pikiranku juga bisa sedikit tenang." Jawabku mencoba membohongi mama.
Akhirnya kami keluar dari mall dan memilih makan di restaurant cepat saji tempat lain.Kita menghabiskan sore dengan membicarakan banyak sambil sesekali tertawa kecil disana. Mama tak tahu jika hati anaknya kembali terluka oleh orang yang sama.
Nada dering handphoneku berbunyi. Kulihat ada sms masuk. Dari Dion lagi.
"Yan..!!! Aku masih mencintaimu, maafkan aku yan. Aku harap ada kesempatan kedua untukku." Bunyi sms dari Dion yang kubaca buru-buru. Kemudian menghapusnya tanpa balasan.
Ada badai yang bergemuruh di batinku. Sebab kembali ingat dengan apa yang kulihat di food court sore tadi. Sekaligus membuatku tersadar jika kabar dua tahun yang lalu adalah benar. Tentang Dion yang menghamili gadis di kota lain menyebar. Aku tentu dulu tak percaya. Karna waktu itu aku masih sangat mencintainya.
"Apa maumu sebenarnya? Aku tak apa sendirian tanpamu. Aku tak apa kau tinggal dengan wanitamu. Sungguh aku tak apa. Tapi aku mohon, jangan muncul dan mengusikku kembali. Karna aku juga berhak atas bahagia di hidupku saat ini" racauku sendiri dengan isak tangis yang semakin menjadi.
Malam ini Dion menelponku. Dia mengajakku bertemu. Ku iyakan ajakannya. Karna aku sudah lelah menghindari lelaki dusta macam dia.
"Kamu mau memberiku kesempatan kedua kan yan?" Dion melontarkan pertanyaan yang sama entah untuk keberapa kalinya.
"Aku sudah melupakanmu Dion. Aku sudah memaafkan kesalahanmu. Tapi tolonglah. Kita sudah berbeda. Aku tak bisa menerimamu kembali." Jawabku dengan nada yang aku buat sehalus mungkin, berharap Dion mau mengerti dan menurutiku kali ini.
"Kenapa yan?" Tanya Dion lagi
"Karna aku sudah tak ingin lagi bersama denganmu. Dan aku juga tak ingin menyakiti wanitamu yang sedang hamil itu. Cukup aku yang sakit, jangan wanita lain kau sakiti juga. Aku tahu betul rasanya. Sakit."
"WANITA HAMIL? DARI MANA KAU TAHU YAN?" Dion bertanya dengan kaget dan tatapan melotot, sampai bola matanya seakan-akan ingin melompat berlarian di lantai.
"Tak penting aku tahu dari mana. Bagiku sudah cukup alasan untukku tak lagi memberimu kesempatan. Kau tahu Dion? Beberapa orang di dunia ini terlahir dengan kekecewaan, karna tak bisa mendapatkan apa yang dia harapkan. Tak terkecuali kamu."
"Aku harap tak ada lagi permintaan aneh darimu. Semoga kamu bisa bahagia dan menjadi ayah yang baik untuk anak-anakmu. Biarkan aku dengan hidupku yang baru." Ucapku untuk terakhir kalinya. Setelah itu aku segera beranjak pergi dan tak menolehnya lagi. Kulangkahkan kaki dengan terburu-buru, sebelum tangis pecah dan meleleh di pipiku.